Kamis, 19 Mei 2016

WADYA BALA KAHYANGAN SURALAYA

1. SANG HYANG BETHARA GURU

( Interprestasi Visual Para Dewa Kahyangan Suralaya )

Corekan : Hok Gie

Kreasi   : Hok Gie

 
Sang Hyang Bethara Guru ( Kreasi Hok Gie )

 CERITA :

Batara Guru (juga disebut Bathara Guru dan Debata Batara Guru) adalah nama sesosok mahadewa dalam beberapa mitologi Indonesia. Namanya berasal dari bahasa Sanskrit Bhattara yang berarti "tuan terhormat" dan Guru, epitet dari Bṛhaspati, seorang Dewa Hindu yang tinggal dan diidentifikasikan dengan planet Jupiter
Menurut mitologi Jawa, Batara Guru merupakan Dewa serta pewayangan yang merajai kahyangan, wilayah para dewa. Ia merupakan perwujudan dari dewa Siwa yang mengatur wahyu, hadiah, dan berbagai ilmu. Batara Guru mempunyai sakti (istri) bernama Dewi Uma dan mempunyai beberapa anak. Betara Guru merupakan satu-satunya wayang kulit yang digambarkan dalam posisi menghadap ke depan, ke arah manusia. Hal ini dapat dilihat dari posisi kakinya. Hanya saja karena berbentuk wayang, maka ia menghadap ke samping. Wahana (hewan kendaraan) Batara Guru adalah sang lembu Nandini. Ia juga dikenal dengan berbagai nama seperti Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagadnata, Nilakanta, Trinetra, dan Girinata.
Betara Guru (Manikmaya) diciptakan dari cahaya yang gemerlapan oleh Sang Hyang Tunggal, bersamaan dengan cahaya yang berwarna kehitam-hitaman yang merupakan asal jadinya Ismaya (Semar). Oleh Hyang Tunggal, diputuskanlah bahwa Manikmaya yang berkuasa di Suryalaya, sedangkan Ismaya turun ke bumi untuk mengasuh para Pandawa.

Batara Guru memiliki dua saudara, Sang Hyang Maha Punggung dan Sang Hyang Ismaya.[2][3][4] Orang tua mereka adalah Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati. Suatu hari, Dewi Rekatawati menelurkan sebutir telur yang bersinar. Sang Hyang Tunggal mengubah telur tersebut, kulitnya menjadi Sang Hyang Maha Punggung yang sulung, putih telur menjadi Sang Hyang Ismaya (Semar), dan kuningnya menjadi Sang Hyang Manikmaya. Kemudian waktu, Sang Hyang Tunggal menunjuk dua saudaranya yang lebih tua untuk mengawasi umat manusia, terutama Pandawa, sementara Batara Guru (atau Sang Hyang Manikmaya) memimpin para dewa di kahyangan.

Saat diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Hyang Tunggal mengetahui perasaan Manikmaya, lalu Hyang Tunggal bersabda bahwa Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal, dan sabda dia betul-betul terjadi.

Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu—yang tidak diketahuinya bahwa air tersebut beracun—lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti raksasa, maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya. Hal ini adalah salah satu upaya de-Hinduisasi wayang dari budaya Jawa yang dilakukan Walisongo dalam upayanya menggunakan wayang sebagai sarana penyebaran Islam di Jawa. Contoh lain adalah penyebutan Drona menjadi Durna (nista), adanya kisah Yudistira harus menyebut kalimat syahadat sebelum masuk surga, dan lain-lain.
Berikut adalah urutan anak-anak Batara Guru, dimulai dari yang paling sulung (menurut tradisi wayang Jawa):

Batara Sambu
Batara Brahma
Batara Indra
Batara Bayu
Batara Wisnu
Batara Ganesha
Batara Kala
Hanoman





 

 

2. SANG HYANG BETHARA NARADA

( Interprestasi Visual Para Dewa Kahyangan Suralaya )

Corekan : Hok Gie

Kreasi   : Hok Gie

Sang Hyang Bethara Narada (Kreasi Hok Gie )

CERITA :
Sang Hyang Bethara Narada dalam pewayangan, antara lain yang berkembang di Jawa, dilukiskan dengan bentuk tubuh cebol bulat, berwajah tua, dengan kepala menengadah ke atas. Dalam versi ini narada menduduki jabatan penting dalam kahyangan, yaitu sebagai penasihat dan "tangan kanan" Batara Guru, raja kahyangan versi Jawa.

Menurut naskah Paramayoga, Batara Narada adalah putra Sanghyang Caturkaneka. Ayahnya adalah sepupu Sanghyang Tunggal, ayah dari Batara Guru. Pada mulanya Narada berwujud tampan. Ia bertapa di tengah samudera sambil memegang pusaka pemberian ayahnya, bernama cupu Linggamanik. Hawa panas yang dipancarkan Narada sempat membuat kahyangan geger. Batara Guru mengirim putra-putranya untuk membangunkan Narada dari tapanya. Akan tetapi tidak seorang pun dewa yang mampu memenuhi perintah tersebut. Mereka terpaksa kembali dengan tangan hampa. Batara Guru memutuskan untuk berangkat sendiri untuk menghentikan tapa Narada. Narada pun terbangun. Keduanya kemudian terlibat perdebatan seru. Batara Guru yang merasa kalah pandai marah dan mengutuk Narada sehingga berubah wujud menjadi jelek. Sebaliknya, karena Narada telah dikutuk tanpa penyebab yang jelas, Batara Guru pun menderita cacad berlengan empat.(Sebenarnya bertangan 4 ini adalah pengejawantahan dari malaikat papat, Jibril Mikail Izrail Israfil). Ia pun sadar bahwa Narada memang lebih pandai darinya. Maka, ia pun memohon maaf dan meminta Narada supaya sudi tinggal di kahyangan sebagai penasihatnya.

Dalam pentas pedalangan, tempat tinggal Batara Narada disebut dengan nama Kahyangan Sidiudal-udal. Atau Sidik pangudal udal.
Narada (Dewanagari: नारद; IAST: Nārada) atau Narada Muni adalah seseorang yang bijaksana dalam tradisi Hindu, yang memegang peranan penting dalam kisah-kisah Purana, khususnya Bhagawatapurana. Narada digambarkan sebagai pendeta yang suka mengembara dan memiliki kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan dunia yang jauh. Ia selalu membawa alat musik yang dikenal sebagai tambura, yang pada mulanya dipakai oleh Narada untuk mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan mantra-mantra sebagai rasa bakti terhadap Dewa Wisnu atau Kresna. Dalam tradisi Waisnawa ia memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan nama Hari dan Narayana dan proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai bhakti yoga seperti yang dijelaskan dalam kitab yang merujuk kepadanya, yang dikenal sebagai Narad Bhakti Sutra.
Menurut legenda, Narada dipandang sebagai Manasputra, merujuk kepada kelahirannya 'dari pikiran Dewa Brahma', atau makhluk hidup pertama seperti yang digambarkan dalam alam semesta menurut Purana. Ia dihormati sebagai Triloka sanchaari, atau pengembara sejati yang mengarungi tiga dunia yaitu Swargaloka (surga), Mrityuloka (bumi) dan Patalloka (alam bawah). Ia melakukannya untuk menemukan sesuatu mengenai kehidupan dan kemakmuran orang. Ia orang pertama yang melakukan Natya Yoga. Ia juga dikenal sebagai Kalahapriya.

Narada Muni memiliki posisi penting yang istimewa di antara tradisi Waisnawa. Dalam kitab-kitab Purana, ia termasuk salah satu dari dua belas Mahajana, atau 'pemuja besar' Dewa Wisnu. Karena ia adalah gandharva dalam kehidupan dahulu sebelum ia menjadi Resi, ia berada dalam kategori Dewaresi.
Bhagawatapurana menceritakan pencerahan spiritual yang dialami Narada: Dalam kehidupannya yang dulu, Narada adalah gandarwa (sejenis malaikat) yang dikutuk agar lahir di planet bumi karena melanggar sesuatu. Maka ia kemudian lahir sebagai putera seorang pelayan yang khusus melayani pendeta suci (brahmin). Para pendeta yang berkenan dengan pelayanan Narada dan ibunya, memberkahinya dengan mengizinkannya memakan sisa makanan mereka (prasad) yang sebelumnya dipersembahkan kepada dewa mereka, yaitu Wisnu.

Perlahan-lahan Narada menerima berkah dan berkah lagi dari para pendeta tersebut, dan mendengarkan mereka memperbincangkan banyak topik mengenai spiritual. Lalu pada suatu hari, ibunya meninggal karena digigit ular, dan karena menganggap itu adalah perbuatan Dewa (Wisnu), ia memutuskan untuk pergi ke hutan demi mencari pencerahan agar memahami 'Kebenaran yang paling mutlak'.

Ketika di dalam hutan, Narada menemukan tempat yang tenang, dan setelah melepaskan dahaga dari sungai terdekat, ia duduk di bawah pohon dan bermeditasi (yoga), berkonsentrasi kepada wujud paramatma Wisnu di dalam hatinya, seperti yang pernah diajarkan oleh para pendeta yang pernah dilayaninya. Setelah beberapa lama, Narada melihat sebuah penampakan, dimana Narayana (Wisnu) muncul di depannya, tersenyum, dan berkata bahwa 'meskipun ia memiliki anugerah untuk melihat wujud tersebut pada saat itu juga, Narada tidak akan dapat melihat wujudnya (Wisnu) lagi sampai ia mati'. Narayana kemudian menjelaskan bahwa kesempatan yang diberikan agar Narada dapat melihat wujudnya disebabkan oleh keindahan dan rasa cintanya, dan akan menjadi sumber inspirasi dan membakar keinginannya yang terlelap untuk bersama sang dewa lagi. Setelah memberi tahu Narada dengan cara tersebut, Wisnu kemudian menghilang dari pandangannya. Narada bangun dari meditasinya dengan terharu sekaligus kecewa.

Selama sisa hidupnya Narada memusatkan rasa baktinya, bermeditasi, dan menyembah Wisnu. Setelah kematiannya, Wisnu menganugerahinya dengan wujud spiritual "Narada", yang kemudian dikenal banyak orang. Dalam beberapa susastra Hindu, Narada dianggap sebagai penjelmaan (awatara) dewa, dan berkuasa untuk melakukan tugas-tugas yang ajaib atas nama Wisnu.
Sumber : Sejarah Wayang Purwa.




3. SANG HYANG BETHARA ENDRA

( Interprestasi Visual Para Dewa Kahyangan Suralaya )

Corekan : Hok Gie

Kreasi   : Hok Gie 

Sang Hyang Bethara Endra ( Kreasi Hok Gie )

 

CERITA :
Sang Hyang Betara Indra adalah putra Hyang Guru. Dewa ini terhitung berkuasa di sebagian Jonggringsalaka, tempat tinggal Betara Guru yang disebut juga Kaendran. Waktu Dewa ini dilahirkan, demikian besar pengaruhnya, hingga bumi bergetar, angin meniup sangat kencang dan air laut menghempas sampai meluap kedarat. Kekuasaan Hyang Indra ialah memerintah segala Dewa atas titah Betara Guru. Maka Betara Indra pun bertanggung jawab mengenai segala sesuatu di tempat kediaman para Dewa. Ia menguasai semua bidadari di Sorga. Berkuasa menentukan hadiah-hadiah yang akan dianugerahkan kepada manusia. Karena kekuasaannya yang begitu besar, maka Betara Indra selalu menerima hal-hal yang diajukan oleh insan manusia kepada Dewa. Indra berputra dua orang putri: 1. Dewi Tara yang dianugerahkan kepada Raden Sugriwa, seorang ksatria kera, dan 2. Dewi Tari yang dianugerahkan kepada Prabu Dasamuka, Raja Raksasa di Alengka. Betara Indra bermata kedondongan (serupa buah kedondong), berhidung mancung, berbibir rapat. Bermahkota, sebagai tanda, bahwa ia adalah seorang Dewa Raja. Berkain rapekan pendeta,bersepatu. Bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Sumber : Sejarah Wayang Purwa.





4. SANG HYANG BETHARA BRAMA

( Interprestasi Visual Para Dewa Kahyangan Suralaya )

Corekan : Hok Gie

Kreasi   : Hok Gie 

Sang Hyang Bethara Brama ( Kreasi Hok Gie )

 

CERITA :
Sang Hyang Brama adalah Dewa api (brama berarti api), putra Hyang Guru. Ia bersemayam di Deksina. Karena kesaktiannya Hyang Brama dapat membasmi segala keburukan yang menjelekkan dunia ini dengan apinya. Ketika Dewa ini dilahirkan besar pengaruhnya terhadap dunia mengeluarkan api hingga menjulang ke angkasa. Setelah dewasa, ia beristrikan Dewi Saraswati, putri Hyang Pancaweda yang terkenal karena sangat cantiknya. Dewa ini pernah bertakhta sebagai raja di Gilingwesi setewasnya Prabu Watugunung. Dewa yang bertakhta sebagai raja di dunia disebut ngejawantah, menampakkan diri. Suatu ketika Hyang Brama menyalahi adat-istiadat Dewa karena memihak pada Betari Durga dan bermaksud untuk memusnakan keluarga Pendawa. Kehendak Betara Brama dimufakati oleh Durga. Sampai sampai juga putri Hyang Brama, Dewi Dresanala yang diperistri oleh Arjuna, diceraikan oleh Hyang Brama. Kehendak Hyang Brama untuk memusnakan keluarga Pendawa terkabul. Malahan Hyang Brama dapat dikalahkan oleh anak Arjuna yang bernama Wisanggeni. Hyang Brama ditangkap oleh Wisanggeni dan diserahkan kepada Hyang Guru. Setibanya di hadapan Guru, Betara Brama menjadi sadar akan kekeliruannya. Ia diampuni oleh Hyang Guru dan kembali ke tempat kediaman para Dewa Kahyangan. Menurut lakon ini meski Dewa sekalipun, kalau bersalah, bisa kalahkan oleh manusia biasa. Sang Hyang Brama merupakan pangkal yang menurunkan Pendawa dan ia berbesan dengan Hyang Wisnu. Sang Hyang Brama bermata kedondongan. Berhidung sembada (serba cukup) dan berbibir rapat. Ia bermahkota, menandakan bahwa ia Dewa yang berkuasa. Ia tidak menyelipkan keris secara yang biasa dilakukan orang, melainkan diselipkannya di depan, oleh karena ia memakai haju yang menutupi bagian belakang badannya. Memakai keris semacam itu disebut yang berarti syak wasangka selalu, sehingga setiap waktu ada bahaya keris itu mudah dihunus. Memakai keris secara demikian dilarang ole penjaga kerajaan, oleh karena si pemakainya dianggap mencuri. Menurut riwayat ini nampak, bahwa Dewa sekalipun bisa mengalami masa kalahnya dalam menghadapi manusia biasa, ini menandakan bahwa kebenaranlah yang selalu menang atas perbuatan salah manusia. Selagi Hyang Guru sebagai Dewa yang tertinggi bisa mengalami kekalahannya juga terhadap manunia biasa, hal itu disebabkan kerena salahnya perbuatan.
Sumber : Sejarah Wayang Purwa.



  

5. SANG HYANG BETHARA YAMADIPATI

( Interprestasi Visual Para Dewa Kahyangan Suralaya )

Corekan : Hok Gie

Kreasi   : Hok Gie 

Sang Hyang Bethara Yamadipati ( Kreasi by Hok Gie )

CERITA :

 Sang Hyang Yamadipati adalah anak dari Semar dan Dewi Kinatri, dia memiliki istri bernama Dewi Mumpuni yang digambarkan sangat cantik. Dewi Mumpuni ini sebenarnya menikahi Sang Hyang Yamadipati dengan terpaksa sebab ia adalah istri pemberian Batara Guru untuk Sang Hyang Yamadipati. Yamadipati adalah seorang dewa yang digambarkan memiliki wajah yang menyeramkan dan memiliki tubuh yang besar dan menakutkan, bahkan jika seseorang yang melihat sosoknya dipercaya akan mendapat celaka. Arti dari namanya adalah Rajanya Neraka sebab dia bertugas menjaga neraka dan mencabut nyawa manusia yang sudah hampir mati. Ketika bertugas untuk mencabut nyawa dia membawa semacam tali tampar atau disebut juga dadhung.Suatu ketika dia diceraikan oleh istrinya Dewi Mumpuni yang kemudian menikah dengan Bambang Nagatatmala. Hati Sang Hyang Yamadipati pun sangat terluka dan ia mulai jarang pulang ke Khayangan Hargadumilah, tempat dimana ia tinggal. Dewi Mumpuni mengatakan bahwa dia terpaksa menjadi istri Yamadipati karena Ia menghormati Batara Guru. Meskipun Yamadipati merasa kecewa terhadap Dewi Mumpuni karena telah menceraikannya, Ia tetap mencoba untuk berbesar hati dan merelakan Dewi Mumpuni menikahi orang yang dicintainya. 

Pada suatu waktu ketika Yamadipati melaksanakan tugasnya mencabut nyawa darhttp://www.blogger.com/img/blank.gifi seorang manusia yang bernama Setyawan, Yamadipati sangat terkesan oleh istri Setyawan yang bernama Sawitri. Sawitri sangat mencintai suaminya sehingga ia membuat Sang Hyang Yamadipati berbelas kasihan kepadanya. Maka, Setyawan pun dibiarkannya tetap hidup dan bahagia bersama istrinya.

Sang Hyang Yamadipati merupakan potret kehidupan manusia Indonesia yang mampu berbesar hati dalam menerima sebuah keadaan. Walaupun merasa dirugikan atau tersakiti, Sang Hyang Yamadipati masih mampu untuk berbaik hati. Ini merupakan salah satu contoh sikap penyabar dan tidak memendam kekesalan. Sumber : Sejarah Wayang Purwa.






6. SANG HYANG BETHARA BAYU

( Interprestasi Visual Para Dewa Kahyangan Suralaya )

Corekan : Hok Gie

Kreasi   : Hok Gie 

Sang Hyang Bethara Bayu ( Kreasi Hok Gie )

  CERITA ;

Sang Hyang Bayu adalah Dewa angin. Dia putra Betara Guru dan berkuasa mengenyahkan seisi alam ini dengan anginnya. Tanda Dewa berjiwa bayu (angin) ialah berkain poleng (berkotak kotak) dan berkuku pancanaka pada ibu jari. Hyang Bayu mempunyai saudara-saudara tunggal-bayu, sama-sama berkekuatan angin; Yakni: 1. Sang Hanuman, 2. Wrekodara (Bratasena), 3. Wil Jajahwreka, 4. Begawan Maenaka, dan 5. Liman Satubanda, juga bernama Gajah Sena. Kalau berjalan, kelima saudara ini selalu diikuti oleh angin puyuh dan jalan mereka cepat sekali. Di dalam lakon Begawan Palasara Krama (kawin), Betara Bayu datang sebagai pemisah perselisihan paham antara Palasara dan Sentanu dalam memperebutkan kemuliaan dengan keputusan, bahwa Sentanu memilih kemuliaan di Marcapada (dunia), dan Palasara memilih kemuliaan di Kahyangan, (akhirat). Selain di dalam lakon ini, Betara Bayu juga kerapkali datang di Marcapada sebagai pemisah, apabila terjadi suatu perselisihan paham. Ketika Perang Baratayuda semakin mendekat, para Dewa turun ke negara Astina untuk memisahkan Pendewa dan Korawa yang bersengketa. Betara Bayu pun ikut turun. Namun segala daya-upaya para Dewa tak berhasil dan perang akhirnya pecah jugalah. Di dalam pewayangan, pada perang yang penghabisan yang lazim disebut perang sampak, Wrekodara (Bratasena) umumnya menyebabkan mati musuhnya. Setiap kali musuh mati, menarilah Wrekodara dan tarinya itu disebut tari tayungan. Tetapi kalau musuhnya orang Korawa, musuhnya itu tidak mati, sebab orang-orang Korawa hanya akan mati kelak dalam Perang Baratayuda. Sebelum ada Wrekodara, perang yang penghabisan ini disudahi oleh Betara Bayu. Hyang Bayu bermata telengan, berhidung dempak berkuku pancanaka. Bermahkota, berjamang tiga-susun, bersunting waderan, berpupuk, berkain poleng, menandakan Dewa ini berkesaktian angin. Hyang Bayu Dewanya Wrekodara. Maka Wrekodara pun disebut juga Bayusuta, oleh karena dipungut anak Hyang Bayu. Hanuman pun diambil anak oleh dewa mi. Maka ia juga berkain polong untuk menandakan, bahwa ia berdewa Bayu. Selain kain baju mereka yang berdewa Bayu serupa, kepala mereka juga berpupuk dan mereka pun berkuku pancanaka. Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar