Minggu, 08 Mei 2016

RADEN BRATASENA

Raden Bratasena (Karya hok Gie)
Ide Kreasi by Hok Gie- Cilacap
Corekan by Sanggar Wayang Gogon - Solo

CERITA :
Raden Bratasena adalah anggota Pandawa yang kedua, putra Prabu Pandu. Bratasena bernama juga Bima dan Bayusuta atau putra angkat Betara Bayu. Setelah dewasa ia bernama Wrekudara, bertahta di Jodipati, sebagai sebagai raja.
Bratasena tidak pernah memakai bahasa halus pada siapa pun juga, bahkan terhadap Dewa, dia juga menggunakan bahasa, kasar. Selama hidupnya hanya sekali, ia berbahasa halus (atau krama) yaitu ketika ia bertemu dengan Dewa Ruci. Seorang dewa yang berukuran kerdil, yang dianggapnya sebagai yang dewa sejati. Tetapi walaupun kasar, bahasanya itu penuh dengan kebijaksanaan, Ia juga tidak pernah dusta.

BENTUK WAYANG

Jagalbilawa (karya Hok Gie)
Raden Bratasena bermata telengan (membelalak), hidung dempak, berkumis dan berjanggut, dengan berbedak di dahi, rambut terurai dan bersahaja, dihias di bagian belakangnya dengan garuda dan sunting, waderan, berkalung bulan sabit, bergelang bentuk Candrakirana, berpontoh dan berkeroncong, berkuku Pancanaka, yang merupakan kuku sakti, bercelana pendek (katok). Segala pakaian Bratasena melambangkan ketetapan hatinya. Ia beroman muka merengut (njenggureng), yang menandakan kalau ia berani demi kebenaran. Ketetapan hati Bratasena laksana gunung, tak berubah ditengah tiupan angin.
Ucapan dalang untuk melambangkan badan dan pakaian Bratasena adalah sebagai berikut:

“Alkisah, akan berjalan kesatria di Tunggulpamenang (Bratasena), setelah ia berdiri tegak, keluarlah angin kesaktiannya. Raden Bratasena waktu berjalan selalu lurus tak pernah membelok. Ia berhias: rambut terurai, berkancing sanggul garuda membelakang dengan terhias. Hal ini untuk lambang bahwa Bratasena tak samar kepada Dewa dan kejiwaannya sendiri. Pupuk di dagu, memperingatkan akan cahaya yang tampak dalam rahim Hyang Dewa Ruci (Dewa Bratasena). Sunting mas tergubah bentuk serat buah asam sebagai lambang bahwa kepandaian Bratasena disamarkan, tampak sebagai orang yang dungu.

Sunting mana tertutup dengan hiasan berbentuk bunga pandan berwarna putih, bermaksud: dimana berbau harum di bagian luar, di dalam pun wangi juga. Berpontoh bentuk buah manggis digubah kelian tempatnya, berarti bahwa ia semasa datang pada azalnya akan sempurna dengan segala-galanya, tak ada yang akan ketinggalan. Gelang Candrakirana, candra=bulan, kirana=tulisan, bermaksud bahwa kesatria Tunggulpamenang berpengetahuan tak dengan tulisan, akan terasa terang benderang tak samar-samar. Berkalung nagabanda (naga pengikat), berarti naga atau raja ular, banda= tali, untuk mengikat badan, akan lambang, bahwa Raden Bratasena di dalam perang, berkekuatan seimbang dengan kemurkaan naga, dan tak akan meninggalkan gelanggang, tak ada perkataan kalah, kekalahan Bratasena: mati. Bercawat kain poleng bang bintulu (kain berkotak-kotak empat segi lima warna). Kain ini untuk memperingat pada amarah yang lima perkara. Berikat pinggang kain cindai berumbai terlentang di atas paha kanan dan kiri, akan lambang bahwa Raden Bratasena mengetahui segala hal di antara kiri dan kanannya. Porong (barang perhiasan) terletak di atas,paha, berarti bahwa ia dapat menyimpan segala-galanya di dalam sanubari. Keroncong nagaraja membelit kaki, sebagai peringatan bahwa ia dapat bertemu dengan Ruci, setelah ia terlepas dari belitan naga. Berkuku pancanaka sepanjang lawi-lawi di tangan kanan dan kiri. Raden Bratasena sebagai lambang kekuatan dari antara kelima saudaranya, dan dapat membuka segala pengetahuan.

Tersebutlah datang angin ribut makin besar, di masa itu Raden Bratasena mengucapkan ilmu Wungkalbener dan Bandungbandawasa, pun aji Jalasengsara. Bratasena waktu berjalan diiringkan dengan lima bayu (angin); yang kehijau-hijauan kepunyaan Begawan Maenaka; angin yang kehitam-hitaman kepunyaan liman (gajah) Satubanda; angin yang kekuning-kuningan kepunyaan Raden Bratasena sendiri; angin yang keputih-putihan kepunyaan Begawan Kapiwara (Anoman).”

Waktu dalang mengucapkan ini wayang (Bratasena) sedang dicacakkan ditengah kelir, lalu dalang menjalankan gunungan dilewatkan berulang-ulang, untuk ibarat bahwa Raden Bratasena mengeluarkan angin, dengan diiringi suluk (lagu) dalang yang dapat membangkitkan rasa geram.
Topan itu bersuara menggeledek menempuh pohon kayu. Pohon kayu yang dalam akarnya patah, sedangkan yang tidak tumbang.

“Jalan Raden Bratasena lurus dan mengikuti apa kehendaknya. Lompat Raden Bratasena sejauh penglihatan gajah. Cepat sebagai kilat.”

Setelah ucapan ini, dalang lalu menjalankan wayang Bratasena berulang-ulang di kelir dengan diiringi bunyi gamelan. Jalan Bratasena diwujudkan secara meloncat satu-satu loncatan menurut lebar kelir.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar